
Jakarta 25/9/2025, WartaGlobal
Ketika Presiden Prabowo Subianto dilantik pada 20 Oktober 2024, banyak hati yang kembali berdebar menunggu arah baru bangsa ini. Saya termasuk yang menaruh harapan besar pada bidang pendidikan. Sebagai seorang guru, sekaligus pegiat literasi yang sehari-hari berinteraksi dengan ribuan pendidik di seluruh Indonesia, saya percaya pendidikan adalah jalan utama menuju kejayaan bangsa. Namun, pendidikan yang bagaimana? Jawaban saya sederhana: pendidikan yang bermutu untuk semua.
Sayangnya, bicara pendidikan bermutu di negeri ini ibarat bicara cita-cita yang indah namun penuh jalan terjal. Itulah yang kini menjadi tantangan besar Presiden Prabowo dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti.
Harapan Baru di Era Prabowo–Abdul Mu’ti
Penunjukan Abdul Mu’ti, seorang akademisi dan aktivis pendidikan Muhammadiyah, sebagai Mendikdasmen memberi warna baru. Latar belakangnya kuat di dunia organisasi dan wacana pendidikan Islam modern. Saya percaya, kehadirannya akan membawa keseimbangan antara visi nasional dan nilai-nilai religius yang membumi. Tetapi, saya juga paham: jalan menuju pendidikan bermutu untuk semua bukanlah jalan mulus. Ada banyak kendala yang menunggu di depan mata.
Sebagai guru yang sudah merasakan asam garam kebijakan pendidikan dari masa ke masa, saya ingin mengajak pembaca merenungkan: apa saja tantangan utama yang harus dihadapi pemerintahan baru ini?
1. Mutu Belajar Siswa Masih Rendah
Hasil PISA 2022 kembali mengingatkan kita bahwa anak-anak Indonesia masih tertinggal dalam literasi, numerasi, dan sains dibanding negara lain. Bagi saya, ini bukan sekadar angka. Ini alarm keras bahwa pengalaman belajar anak-anak kita belum menyentuh esensi: membuat mereka mencintai belajar.
Saya sering katakan di kelas dan pelatihan guru:
“Mutu pendidikan bukan sekadar mengejar skor, tetapi bagaimana anak-anak pulang dari sekolah dengan rasa ingin tahu yang lebih besar daripada saat mereka datang.”
Itu hanya bisa terjadi bila guru diberdayakan dan diberi kesempatan berkembang.
2. Guru: Dibutuhkan, Tapi Sering Dilupakan
Tak ada pendidikan bermutu tanpa guru bermutu. Namun, realitasnya masih banyak guru di Indonesia yang hidup dengan penuh ketidakpastian. Pencairan Tunjangan Profesi Guru (TPG) sering tersendat, validasi data di Dapodik membingungkan, dan guru honorer masih banyak yang belum jelas statusnya meskipun program PPPK sudah berjalan.
Saya mendengar langsung keluhan teman-teman guru di daerah:
“Pak, kapan sertifikasi cair? Sudah tiga bulan menunggu.”
“Pak, dataku di Dapodik tidak valid, padahal sudah diperbaiki berkali-kali.”
“Pak, saya sudah mengabdi puluhan tahun, tapi status tetap honorer.”
Saya hanya bisa menguatkan mereka, sambil berharap pemerintah benar-benar memperbaiki tata kelola. Kalau guru masih resah soal gaji, bagaimana mungkin bisa fokus membimbing murid dengan sepenuh hati?
3. Ketimpangan Akses dan Kualitas
Indonesia adalah negeri kepulauan yang sangat luas. Saya pernah ke daerah terpencil di Maluku, juga ke pelosok Nusa Tenggara Timur. Saya melihat sendiri sekolah dengan gedung reyot, laboratorium kosong, bahkan guru yang harus mengajar lebih dari tiga kelas sekaligus.
Di sisi lain, di kota besar, anak-anak bisa belajar dengan tablet, internet cepat, dan fasilitas lengkap. Inilah ironi kita: ada dua wajah pendidikan Indonesia. Pertanyaannya: apakah Prabowo–Abdul Mu’ti mampu mempersempit jurang ini?
Saya percaya bisa, asal berani mengambil keputusan: memperkuat distribusi guru, memberi insentif bagi mereka yang mau mengajar di daerah sulit, serta membangun infrastruktur digital yang merata.
4. Program Besar, Risiko Besar
Pemerintah Prabowo menggulirkan program makan bergizi gratis untuk anak sekolah. Ide ini mulia, karena anak yang kenyang tentu lebih siap belajar. Namun, saya mengingatkan: jangan sampai program ini jadi bumerang.
Sudah ada kasus makanan bermasalah di beberapa daerah, yang membuat anak sakit. Ini bukan sekadar soal logistik, tapi soal kepercayaan. Saya sarankan agar program ini diawasi ketat, melibatkan komunitas guru, orang tua, dan organisasi masyarakat sipil. Jangan hanya proyek besar di atas kertas.
Saya menegaskan: “Program sosial untuk anak seperti makanan sekolah adalah langkah tepat, tapi harus ditemani standar keamanan, pelatihan penyedia, dan monitoring independen. Tanpa itu, efeknya bisa merusak—bukan membangun—kepercayaan masyarakat.”
5. Reformasi Kurikulum dan Kesiapan Guru
Saya sudah merasakan berkali-kali pergantian kurikulum. Dari Kurikulum 1994, 2004, KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. Sering kali masalahnya bukan pada isi kurikulum, tapi kesiapan guru.
Kurikulum sehebat apapun akan gagal bila guru tidak dilatih, tidak diberi ruang praktik, dan tidak mendapat bimbingan. Karenanya, saya berpesan: hentikan kebijakan tambal sulam. Fokuslah membangun program pengembangan guru yang konsisten dan berkelanjutan.
6. Data Pendidikan: Fondasi Kebijakan
Saya sering membantu guru memperbaiki data di Dapodik. Kadang-kadang saya berpikir, mengapa sistem ini tidak dibuat lebih sederhana dan ramah pengguna? Kebijakan berbasis data hanya bisa kuat bila datanya valid dan mudah diakses.
Maka, pembenahan data pendidikan adalah kunci. Tanpa itu, kebijakan hanya akan meleset dari sasaran.
7. Inklusivitas dan Pendidikan untuk Semua
Ketika saya bicara “pendidikan bermutu untuk semua”, saya sungguh-sungguh. Itu berarti untuk semua anak, tanpa terkecuali. Anak berkebutuhan khusus, anak di daerah tertinggal, anak dari keluarga miskin—semuanya berhak mendapatkan layanan yang sama.
Saya ingin melihat sekolah-sekolah kita benar-benar ramah inklusi. Guru-guru diberi pelatihan tentang diferensiasi, ada tenaga konseling, dan sarana penunjang untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Suara PGRI: Menguatkan Harapan Guru
Dalam banyak kesempatan, saya mendengar Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, selalu menekankan pentingnya keberpihakan nyata terhadap guru. Beliau mengatakan:
“Kalau guru tidak diperhatikan kesejahteraannya, jangan berharap mutu pendidikan bisa naik. Pemerintah harus konsisten menepati janji-janji untuk guru, karena guru adalah tiang penyangga pendidikan nasional.”
Pernyataan ini selaras dengan keresahan yang saya dengar dari lapangan. Guru bukan hanya membutuhkan kata-kata manis, tapi bukti nyata. PGRI sebagai organisasi profesi siap mengawal, tapi bola ada di tangan pemerintah.
Rekomendasi Jalan ke Depan
Sebagai guru, saya tidak ingin hanya mengkritik. Saya juga ingin memberi solusi praktis:
1. Utamakan guru: percepat pencairan TPG, sederhanakan administrasi, dan berikan kesempatan pengembangan profesional berkelanjutan.
2. Perbaiki tata kelola program besar*: awasi dengan ketat, libatkan masyarakat, dan buat laporan transparan.
3. Bangun infrastruktur merata: internet, buku digital, dan insentif guru di daerah sulit.
4. Kuatkan data pendidikan: dapodik yang sederhana, akurat, dan bisa dipakai untuk kebijakan.
5. Kembangkan pendidikan inklusif: pelatihan guru, fasilitas ramah disabilitas, dan pendanaan khusus.
Harapan dari Seorang Guru
Sebagai suara hati seorang guru. Pendidikan bermutu untuk semua adalah mimpi besar yang bisa jadi kenyataan bila ada kemauan politik, keberpihakan nyata pada guru, dan kebijakan yang konsisten.
Saya ingin mengutip kalimat yang sering saya bagikan di kelas menulis:
“Pendidikan itu seperti menanam pohon. Kita mungkin tidak langsung menikmati buahnya, tetapi anak cucu kita akan berteduh di bawah rindangnya.”
Mudah-mudahan Presiden Prabowo dan Mendikdasmen Abdul Mu’ti benar-benar serius menanam pohon-pohon itu, sehingga generasi masa depan Indonesia bisa tumbuh dalam taman pendidikan yang indah dan bermutu.
Referensi
* OECD PISA 2022, Country Note: Indonesia.
* World Bank, The Promise of Education in Indonesia.
* Kompaspedia, Profil Abdul Mu’ti.
* Liputan tentang program makan bergizi gratis dan tantangan implementasi (Reuters, AP, 2025).
* Pernyataan Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd – Ketua Umum PB PGRI (dari berbagai wawancara media nasional).
Sumber :Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd