
Jakarta, [WartaGlobal.Id] 22/9/2025,(https://www.wartaglobal.id) – Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 287 K/Pid/2019 yang menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara kepada Silfester Matutina sejak 20 Mei 2019, hingga kini belum juga dieksekusi. Artinya, sudah lebih dari enam tahun vonis inkracht tersebut diabaikan, sementara sang terpidana bebas berkeliaran dan bahkan dipercaya menduduki jabatan komisaris di PT Rajawali Nusantara Indonesia (ID Food).
Publik menilai keadaan ini sebagai pelecehan terang-terangan terhadap hukum. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah divonis bersalah, bukan hanya tidak menjalani hukuman, tetapi justru dipromosikan ke posisi strategis oleh Erick Thohir saat masih menjabat Menteri BUMN. Fakta ini kian menguatkan anggapan bahwa hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, sementara elit politik bisa lolos dari jeratan.
Kejaksaan Agung sempat memerintahkan Kejari Jakarta Selatan untuk mengeksekusi putusan tersebut pada awal September 2025. Namun, upaya itu kandas lagi dengan alasan yang sama seperti enam tahun lalu: terpidana sulit ditemukan, sakit, hingga alasan klasik pandemi. Publik semakin muak karena dalih itu dianggap akal-akalan untuk melindungi Silfester.
Nama pejabat yang dulu menangani kasus ini juga menjadi sorotan. Anang Supriatna, mantan Kajari Jaksel yang kini menjabat Kapuspenkum Kejagung, dinilai gagal menuntaskan eksekusi sejak awal. Jaksa Agung ST Burhanudin pun dituding membiarkan kasus ini menguap tanpa kepastian. Banyak kalangan melihat ada “benang merah politik” yang menghalangi pelaksanaan hukum.
Silfester bukan sosok biasa. Ia merupakan Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), organisasi relawan pendukung Presiden Joko Widodo. Kedekatan politik ini disebut sebagai alasan mengapa hukum tak berdaya menjeratnya. Bahkan sindiran pedas di publik menyebut, keberadaannya mungkin “disimpan rapat” di lingkar kekuasaan.
Kasus Silfester telah menjelma menjadi potret suram penegakan hukum nasional. Putusan pengadilan yang seharusnya final berubah jadi komoditas politik. Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum (rechsstaat) dipertontonkan seolah negara kekuasaan (machtsstaat), di mana kekuatan politik lebih berdaulat daripada hukum.
Kini sorotan diarahkan ke Presiden Prabowo. Bila ia tidak berani menindak tegas, publik menilai pemerintahannya ikut mencoreng keadilan. Desakan yang muncul jelas: segera tangkap Silfester, copot Jaksa Agung, atau rakyat akan menuntut pertanggungjawaban langsung dari presiden.
“Kalau hukum terus dipermainkan, pemimpin negeri ini pantas dicap lemah, bahkan cemen. Negara hukum tinggal jargon, yang tersisa hanya negara kepentingan,” ujar seorang pengamat hukum dengan nada tajam.