
Sumut 10/10/2025, WartaGlobal. Id
Huta Siallagan, sebuah desa kuno di Sumatera Utara, merupakan cikal bakal peradilan pidana modern di Tanah Batak. Desa ini berusia ratusan tahun, dibangun pada masa pemerintahan Raja Laga Siallagan, keturunan Raja Naimbaton.
Batu Parsidangan di Huta Siallagan adalah peninggalan budaya Batak Toba yang penting. Di tempat ini, susunan kursi batu melingkari meja batu, dulunya dipakai untuk sidang adat oleh Raja Siallagan dan tokoh adat. Sistem hukum adat di sini mengenal tiga tingkatan kejahatan dengan sanksi berbeda, termasuk pengampunan, ganti rugi, penjara adat, hingga eksekusi pemenggalan kepala.
Keputusan sidang adat di Batu Parsidangan dianggap sah dan mengikat secara moral bagi warga desa. Replika Batu Parsidangan kini tersimpan di Museum Mahkamah Agung, sebagai pengingat bahwa hukum adat telah lama menjadi fondasi keadilan di Nusantara.
Huta Siallagan adalah desa kuno berusia ratusan tahun, dibangun pada masa pemerintahan Huta pertama, Raja Laga Siallagan. Siallagan sendiri merupakan keturunan Raja Naimbaton, yang mengikuti garis keturunan Raja Isumbaon, putra kedua Raja Batak.
[1] Dalam bahasa batak, Huta dimaknai sebagai desa sedangkan Siallagan merujuk pada nama Raja Siallagan. Secara geografis, desa ini berlokasi di Ambarita, Kabupaten Samosir dengan luas sekitar 2.400 meter persegi yang dikelilingi tembok halus setinggi 1,5 hingga 2 meter. Pada masanya, tembok ini juga dilengkapi dengan benteng bambu runcing, yang berfungsi untuk melindungi desa dari serangan binatang buas dan lainnya.
Apa yang membuat kampung ini menarik? Ya, Batu Parsidangan di Huta Siallagan merupakan satu dari sekian peninggalan budaya Batak Toba yang penting untuk dipelajari lebih lanjut. Di tempat ini, susunan kursi dari batu ditata melingkari sebuah meja di area terbuka, dulunya dipakai untuk sidang adat oleh Raja Siallagan bersama para tokoh terkemuka di kampung.
[2]Masing-masing memiliki makna: kursi untuk raja yang memimpin sidang, kursi untuk dukun yang memberi pertimbangan spiritual, kursi bagi pemimpin adat, hingga kursi untuk terdakwa yang akan dijatuhi putusan. Di tengahnya, terdapat meja batu yang menjadi pusat musyawarah, tempat segala keputusan ditentukan. Komposisi ini menunjukkan kombinasi dimensi sosial, religius dan simbolik dari hukum adat Batak Toba.
Saat itu, misionaris dari negara barat belum masuk ke tanah batak untuk mewartakan agama, sehingga peran dukun sangat penting dalam mencerminkan keseimbangan duniawi dan ilahi. Sementara itu, posisi terdakwa sebagai pelanggar hukum adat dihadapkan langsung dengan raja dan tokoh adat sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas persidangan.
Bagi penduduk Huta Siallagan, persidangan yang dilaksanakan di Batu Parsidangan adalah agenda penting yang bisa disaksikan secara terbuka. Keputusan yang lahir dari Batu. Parsidangan dianggap sah secara adat serta mengikat secara moral bagi seluruh warga desa. Jika pelaku kejahatan dinyatakan bersalah bahkan dapat dijatuhi hukuman pemenggalan kepala, namun sebelum itu, ia akan dipenjara terlebih dahulu di bawah rumah Raja, sambil menunggu tanggal eksekusi.
[3] Dalam praktiknya, persidangan adat di Batu Parsidangan mengenal tiga tingkatan kejahatan dengan sanksi berbeda. Pertama, terhadap kejahatan ringan seperti pencurian, seorang terdakwa dapat diampuni bila sanggup membayar ganti rugi hingga empat kali lipat dari barang yang dicuri. Satu bagian diberikan kepada korban, sementara sisanya menjadi hak raja sebagai sanksi. Namun, bila tidak mampu membayar, terdakwa bisa dijadikan budak raja untuk jangka waktu yang ditentukan para penasihat adat.
Kedua, terhadap kejahatan umum yang meliputi pembunuhan, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan, hingga perkelahian, maka hukuman yang diberikan berupa penjara adat. Menariknya, lama hukuman tidak diputuskan langsung oleh raja, melainkan oleh lima penasihat hukum adat, sementara raja hanya mengesahkan putusan. Sistem ini menegaskan bahwa peradilan adat Batak Toba bersifat kolektif dan musyawarah, bukan mutlak pada kekuasaan raja.
Terakhir, terhadap kejahatan serius seperti penghinaan terhadap martabat raja, pengkhianatan, percobaan makar terhadap huta, hingga hubungan terlarang dengan salah satu istri raja, dianggap sebagai pelanggaran tertinggi. Untuk kasus ini, hukuman terberat, termasuk eksekusi pemenggalan kepala, dapat dijatuhkan setelah melalui persidangan.
Jauh dari itu, segala sesuatu yang hendak dilakukan di Huta Siallagan harus diselenggarakan terlebih dahulu di Batu Parsidangan, misalnya seperti merencanakan pesta adat yang akan digelar, menguburkan jenazah, menyelenggarakan pesta perkawinan, dan lain sebagainya.
Sistem hukum adat di Batu Parsidangan mencerminkan konsep keadilan yang proporsional. Ada ruang untuk pengampunan, ada mekanisme ganti rugi, ada juga hukuman berat berupa pemenjaraan dan pemenggalan kepala. Semua diputuskan secara kolektif, melibatkan raja, penasihat adat, dan masyarakat.
Replika Batu Parsidangan kini tersimpan di Museum Mahkamah Agung. Kehadirannya menjadi pengingat bahwa hukum adat telah lama menjadi fondasi keadilan di Nusantara. Mari kita menghargai warisan ini sebagai bagian dari perjalanan hukum Indonesia.
Sumber :Pustaka