
,Jakarta -- Beberapa waktu lalu, publik kembali dikejutkan oleh babak baru dalam persidangan kasus korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara. Bukan hanya karena besarnya nilai proyek yang dikorupsi — Rp165 miliar — tetapi juga karena satu nama penting yang diminta hadir oleh majelis hakim: Bobby Nasution, Gubernur Sumatera Utara sekaligus menantu Presiden Joko Widodo.
Permintaan hakim ini seharusnya menjadi alarm bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bertindak cepat dan transparan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: KPK masih mempertimbangkan kehadiran Bobby, dengan alasan perlu dilakukan “analisis mendalam” oleh jaksa penuntut umum (JPU). Narasi ini terasa janggal, apalagi mengingat permintaan tersebut datang langsung dari majels hakim, bukan sekadar opini publik atau desakan media.
Pertanyaannya: Sejak kapan perintah hakim tidak cukup mendesak untuk dijalankan?
Hakim Sudah Bicara, KPK Masih Diam
Keterangan dalam persidangan sebelumnya menyebut bahwa anggaran proyek yang kini menjadi objek perkara tidak termasuk dalam APBD murni, melainkan muncul melalui mekanisme pergeseran anggaran lewat Peraturan Gubernur (Pergub). Bahkan, Pergub tersebut disebut telah mengalami perubahan hingga enam kali — sebuah fakta yang seharusnya cukup mengundang pertanyaan, jika bukan kecurigaan.
Hakim pun menyimpulkan dengan terang: jika mekanisme pergeseran anggaran tidak berjalan semestinya, maka tanggung jawab ada di tangan gubernur.
Dalam konteks inilah, kehadiran Bobby Nasution sebagai saksi bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari upaya mencari tahu sejauh mana kepala daerah mengetahui dan terlibat dalam proses penganggaran proyek yang kini menjadi pusat perkara korupsi.
Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, KPK belum memberikan kepastian. Jawaban “masih dianalisis” terdengar seperti upaya menunda — atau bahkan menghindar — dari kemungkinan memanggil pejabat yang punya kedekatan politik dengan lingkar kekuasaan tertinggi di negeri ini.
Apa yang Dipertaruhkan? Lebih dari Sekadar Nama
Kasus ini bukan semata soal nama Bobby Nasution. Ini soal prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Bahwa siapa pun, apapun jabatannya, harus bisa dimintai keterangan dalam proses hukum, apalagi jika diminta langsung oleh majelis hakim.
Jika KPK tunduk pada kalkulasi politik dalam menjalankan tugasnya, maka lembaga ini telah kehilangan satu hal yang paling mendasar: integritas.
Lebih dari itu, publik berhak khawatir bahwa ini bisa menjadi preseden berbahaya: bahwa ketika seorang saksi memiliki hubungan kekerabatan dengan kekuasaan, hukum akan berjalan lebih lambat — atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
KPK di Titik Nol Moral?
Tak bisa dimungkiri, KPK dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan kepercayaan publik. Revisi UU KPK, pelumpuhan kewenangan penyadapan, hingga pemilihan pimpinan yang kontroversial menjadi rangkaian kemunduran lembaga ini.
Dan kini, ketika KPK berhadapan dengan ujian konkret: memanggil saksi penting yang punya potensi membuka fakta-fakta baru dalam kasus besar, mereka justru tampak ragu.
Apakah KPK sedang menghindari risiko politik? Apakah ini bentuk kompromi dengan kekuasaan? Atau, lebih buruk lagi, apakah keberanian melawan korupsi kini telah menjadi milik masa lalu?
Penutup: Keadilan Tidak Boleh Tunduk pada Kekuasaan
Dalam sistem demokrasi yang sehat, kebenaran hukum tidak boleh dikompromikan oleh kenyamanan politik. Ketika pengadilan memerintahkan, maka lembaga penegak hukum seharusnya patuh — tanpa pandang bulu.
KPK masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Hadirkan Bobby Nasution sebagai saksi, sebagaimana permintaan hakim. Buktikan bahwa hukum di negeri ini masih berlaku bagi semua, tidak peduli siapa orangnya, siapa keluarganya, atau di mana posisinya dalam peta kekuasaan.
Jika tidak, maka sejarah akan mencatat: bahwa di saat hukum memanggil, lembaga antikorupsi memilih untuk ragu — bukan karena kurang bukti, tapi karena terlalu banyak pertimbangan.
Penulis:[Andi Azwar]