Purnawirawan TNI Geruduk Mahfud MD: Wacanakan Pemakzulan Gibran, Desak Kembalinya UUD 1945 Asli - Warta Global Indonesia

Mobile Menu

Top Ads

Dirgahayu RI
🎉 Dirgahayu Republik Indonesia ke-80 — 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2025 🎉

More News

logoblog

Purnawirawan TNI Geruduk Mahfud MD: Wacanakan Pemakzulan Gibran, Desak Kembalinya UUD 1945 Asli

Monday, October 27, 2025

WARTAGLOBAL.id
,Jakarta — Suasana politik nasional kembali memanas. Sekelompok tokoh dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPP TNI) mendatangi mantan Menko Polhukam Mahfud MD untuk membahas langkah konstitusional paling ekstrem: pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Pertemuan berlangsung di Jakarta pada Kamis, 23 Oktober 2025, di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap legitimasi kepemimpinan duet Prabowo–Gibran. Sejumlah jenderal purnawirawan hadir — di antaranya Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Marsekal (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto.

Dalam pertemuan tertutup itu, para purnawirawan menyerahkan delapan butir tuntutan nasional, yang di puncaknya berisi desakan agar Wakil Presiden Gibran dimakzulkan. Fachrul Razi menegaskan, langkah ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan politik, melainkan bentuk “kepedulian terhadap rusaknya tatanan konstitusi.”

“Paling atas, kembali ke UUD 1945. Paling bawah, makzulkan Gibran. Kami datang bukan untuk makar, tapi untuk mengingatkan bangsa agar kembali ke rel,” ujar Fachrul Razi dengan nada tegas.


Gibran Disorot, Putusan MK Jadi Pangkal Persoalan

Wacana pemakzulan ini sejatinya telah bergulir sejak pertengahan tahun. Pada 2 Juni 2025, FPP TNI mengirim surat resmi ke DPR dan MPR RI berisi desakan agar dilakukan proses pemakzulan terhadap Gibran. Mereka menilai pencalonan Gibran cacat hukum karena didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang memperlonggar syarat usia calon presiden/wakil presiden — sebuah putusan yang kala itu dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, paman Gibran sendiri.

“Bangsa ini dipermainkan oleh nepotisme politik. MK dijadikan alat keluarga. Ini yang kami lawan,” kata salah satu tokoh FPP TNI.

Selain itu, Gibran juga dianggap minim pengalaman dan tidak memenuhi standar kepemimpinan nasional. “Baru dua tahun jadi wali kota, belum paham pemerintahan pusat. Latar belakang pendidikan pun dipertanyakan,” tambahnya.

Mahfud MD: Langkah Sah, Tapi Tak Mudah

Mahfud MD menyambut delegasi FPP TNI dengan terbuka. Ia menyebut langkah mereka sah secara konstitusional, selama dilakukan melalui mekanisme hukum yang berlaku.

“Saya menghormati langkah ini. Mengajukan usulan pemakzulan lewat surat resmi kepada DPR/MPR itu sah dan elegan. Tidak ada yang salah, selama disampaikan secara terbuka,” ujar Mahfud.

Namun Mahfud juga mengingatkan, pemakzulan Wakil Presiden bukan perkara sederhana. Konstitusi mensyaratkan adanya pelanggaran hukum berat, pengkhianatan terhadap negara, atau ketidakmampuan menjalankan tugas secara konstitusional.

“Secara politik, sulit. Secara hukum, berat. Tapi sah jika masyarakat ingin menguji mekanismenya,” tambah Mahfud.

Gelombang Kritik Meningkat, Pemerintah Diminta Dengarkan

Langkah FPP TNI ini menambah panjang daftar suara publik yang mempertanyakan legitimasi pemerintahan baru. Dalam pandangan mereka, kasus Gibran adalah simbol dari “penyimpangan konstitusi” dan “pendangkalan etika politik.”

Forum purnawirawan itu juga menegaskan tidak memiliki motif politik praktis. “Kami bukan oposisi. Kami prajurit yang sudah pensiun, tapi tetap mencintai republik ini,” kata Hanafie Asnan. “Kalau konstitusi rusak, negara bisa hancur. Kami tidak ingin itu terjadi.”

Konteks Lebih Luas

Wacana pemakzulan ini menghidupkan kembali dinamika sipil-militer di panggung politik Indonesia. Para purnawirawan kini tampil bukan sebagai kekuatan bersenjata, tetapi sebagai penjaga moral konstitusi.

Meski peluang pemakzulan Gibran secara hukum masih sangat kecil, langkah FPP TNI dianggap sebagai peringatan keras bagi pemerintahan Prabowo–Gibran bahwa sebagian kalangan elite militer pensiunan menolak diam terhadap praktik kekuasaan yang mereka nilai sarat nepotisme dan pelanggaran etika.

Editor:[AZ]




Sumber:(Dikutip dari Konteks, I News,Kompas)