Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.
Pengertian :1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik
Periode ini terjadi ketika Indonesia baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Meskipun baru merdeka, di Indonesia telah lahir beberapa penerbitan pers baru. Karena pers pada saat itu masih bergulat dengan persoalan tentang bagaimana cara menyampaikan informasi kepada masyarakat pada era kemerdekaan, maka pembuatan Kode Etik Jurnalistik belum dipertimbangkan. Akibatnya, pada periode ini pers berjalan tanpa kode etik.
2. Periode Kode Etik Jurnalistik PW Tahap 1
Pada tahun 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PW) dibentuk di Solo, tetapi saat itu organisasi ini belum memiliki kode etik.
Saat itu hanya ada semacam konvensi yang dituangkan dalam satu kalimat, yaitu PW mengutamakan prinsip kebangsaan. Setahun kemudian, pada tahun 1947, Kode Etik PW yang pertama dikeluarkan.
3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PW dan Non-PW
Setelah PW didirikan, muncul berbagai organisasi wartawan lainnya. Meskipun dijadikan pedoman etik oleh organisasi lain, Kode Etik Jurnalistik PW hanya berlaku bagi anggota PW saja, padahal organisasi wartawan lainnya juga memerlukan Kode Etik Jurnalistik. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Dewan Pers membuat dan mengeluarkan Kode Etik Jurnalistik. Pada saat itu, Dewan Pers membentuk sebuah panitia yang terdiri dari tujuh orang, yaitu Mochtar Lubs, Nurhad Kartaatmadja, H.G Rormpandey, Soendoro, Wonohto, L.E Manuhua, dan A. Azz. Setelah selesai, Kode Etik Jurnalistik tersebut ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Pers masing-masing Boedarjo dan T. Sjahrial, dan disahkan pada 30 September 1968. Dengan demikian, pada saat itu terjadi dualisme Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik PW berlaku bagi wartawan yang menjadi anggota PW, sedangkan Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers berlaku bagi non-PW.
4. Periode Kode Etik Jurnalistik PW Tahap 2
Pada tahun 1969, dikeluarkan peraturan pemerintah mengenai wartawan. Menurut Pasal 4 Peraturan Menteri Penerangan No.02/Pers/MENPEN/1969 tentang wartawan, dijelaskan bahwa wartawan Indonesia wajib menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah disahkan pemerintah. Namun, saat itu belum ada organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah. Baru pada tanggal 20 Mei 1975, pemerintah mengesahkan PW sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Sebagai konsekuensi dari pengukuhan PW tersebut, maka secara otomatis Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia adalah milik PW.
5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan masuknya era Reformasi, paradigma dan tatanan dunia pers mengalami perubahan.
Pada tahun 1999, dikeluarkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 7 ayat 1, yang memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasinya. Dengan adanya Undang-Undang ini, muncul berbagai organisasi wartawan baru. Akibatnya, jumlah Kode Etik Jurnalistik pun menjadi banyak.
Pada tanggal 6 Agustus 1999, sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung meluncurkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEW), yang disahkan oleh Dewan Pers pada 20 Juni 2000. Kemudian, pada tanggal 14 Maret 2006, sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik Jurnalistik baru, yang disahkan pada 24 Maret 2006.
- Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak berat sebelah.
- Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
- Wartawan Indonesia selalu memverifikasi informasi, melaporkan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
- Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
- Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyebarkan identitas korban kejahatan seksual dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
- Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
- Wartawan Indonesia memiliki hak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan "off the record" sesuai dengan kesepakatan.
- Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyebarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.
- Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
- Wartawan Indonesia segera mencabut, memperbaiki, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat serta memberikan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa.
- Wartawan Indonesia memberikan pelayanan hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Fungsi Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik merupakan pedoman yang sangat penting
bagi wartawan, bahkan dibandingkan dengan perundang-undangan lainnya yang memiliki sanksi fisik sekalipun. Kode Etik Jurnalistik memiliki kedudukan yang sangat istimewa bagi wartawan. M. Alwi Dahlan sangat menekankan betapa pentingnya Kode Etik Jurnalistik bagi wartawan. Menurutnya, Kode Etik memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a. Melindungi keberadaan seseorang sebagai profesional dalam bekerja di bidangnya.
b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang kurang profesional.
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi.
d. Mencegah kecurangan antara rekan-rekan profesional.
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber.
Asas Kode Etik Jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku secara nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/SK-DP/ /2006 tanggal 24 Maret 2006, secara umum mengandung empat asas, yaitu:
1. Asas Demokrasi
Asas demokrasi berarti berita harus didasarkan secara berimbang dan independen. Selain itu, pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, serta pers harus mengutamakan kepentingan publik.
Asas demokrasi juga tercermin dalam Pasal 11 yang mengharuskan wartawan Indonesia memberikan pelayanan hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Dengan adanya hak jawab dan hak koreksi ini, pers tidak boleh mendiskreditkan pihak manapun. Semua pihak yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan pendapatnya, tentu secara proporsional.
2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya.
Misalnya, pers harus membuat, menyebarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan demikian, wartawan Indonesia terampil secara teknis, bersikap sesuai norma yang berlaku, dan memahami nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan integritas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dan opini, memverifikasi informasi yang diperoleh, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record, serta pers harus segera mencabut, memperbaiki, dan memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permintaan maaf.
3. Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tatanan nilai, kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan.
Kode Etik Jurnalistik menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesional wartawan. Oleh karena itu, wartawan yang tidak didasarkan oleh moralitas yang tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas antara lain wartawan tidak menerima suap, wartawan tidak menyalahgunakan profesinya, tidak merendahkan orang miskin dan orang cacat (jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyebarkan berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-anak, serta segera meminta maaf terkait pembuatan dan penyebaran berita yang tidak akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Oleh karena itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam meliput suatu berita, wartawan juga diwajibkan untuk menghormati asas praduga tak bersalah, yang berarti tidak mendiskriminasi atau menyudutkan seseorang sebelum ada bukti yang cukup mengenai keterlibatannya dalam suatu kejadian atau tindakan.
Dengan kata lain, wartawan harus menjalankan tugasnya dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum dan memastikan bahwa kegiatan jurnalistik mereka tidak melanggar hak-hak individu yang dijamin oleh hukum. Wartawan harus bertindak dengan itikad baik, objektivitas, dan kejujuran dalam melaporkan fakta-fakta yang relevan serta menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
No comments:
Post a Comment