
IndonesiaJakarta, 15 November 2025 , WartaGlobal. Id
Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia, cerita sejarah seringkali menjadi medan perdebatan yang belum usai. Baru-baru ini, pemerintah mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk dua sosok yang sangat berbeda latar belakangnya:
Soeharto, Presiden Orde Baru yang membawa pembangunan dan stabilitas, serta Marsinah, buruh pabrik yang disiksa dan dibunuh saat berjuang menuntut keadilan di masa rezim yang sama.Keputusan ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Di satu sisi, Soeharto dikenal sebagai arsitek pembangunan nasional yang membuka jalan, menciptakan infrastruktur, dan menekan laju inflasi. Namun di sisi lain, masa pemerintahannya juga diwarnai pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan, dan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang berani menentang.
Sementara itu, Marsinah menjadi simbol keberanian melawan ketidakadilan. Ia bukan tokoh pejabat atau partai, melainkan seorang buruh biasa yang menuntut hak dan dipaksa membayar mahal keberaniannya.
Pembunuhannya di Nganjuk pada tahun 1993 menjadi luka sejarah yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Publik bertanya, bagaimana mungkin korban penindasan dan penguasa yang otoriter sama-sama disebut pahlawan? Apakah gelar itu hanya simbol politik yang meredam konflik sejarah, ataukah ungkapan tulus penghormatan?
Sejarawan dan aktivis hak asasi manusia menekankan pentingnya kejujuran dalam mengenang sejarah bangsa. Mereka mengingatkan bahwa pembangunan tanpa keadilan adalah kekuasaan tanpa nurani, dan bahwa pahlawan sejati lahir dari keberanian melawan ketidakbenaran, termasuk jika lawannya adalah negara sendiri.
Penganugerahan gelar pahlawan untuk Soeharto dan Marsinah di sebuah panggung yang sama mengundang refleksi mendalam: apakah bangsa Indonesia siap berdamai dengan masa lalunya yang penuh paradoks? Atau gelar itu hanya menutup luka dengan label penghargaan tanpa menyelesaikan akar persoalan?
Sementara itu, Marsinah tetap menjadi simbol keberanian dan harapan bagi perjuangan keadilan sosial di tanah air, mengingatkan kita bahwa penghargaan tertinggi bukanlah gelar, tetapi keadilan yang ditegakkan tanpa pandang bulu.