Jakarta, WartaGlobal.Id – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook. Penetapan ini diumumkan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, Kamis (4/9/2025).
“Dari hasil pendalaman, keterangan saksi-saksi, serta alat bukti yang ada, pada sore ini dan hasil dari ekspose telah menetapkan tersangka baru dengan inisial NAM,” ujar Anang. Ia menambahkan, penetapan dilakukan setelah penyidik memeriksa kurang lebih 120 saksi dan empat orang ahli.
Nadiem disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pada hari yang sama, ia juga menjalani pemeriksaan di Gedung Kejagung. Saat tiba didampingi kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea, Nadiem hanya menyampaikan singkat kepada wartawan, “Dipanggil untuk kesaksian, terima kasih, mohon doanya.”
Direktur Penyidikan Jampidsus, Nurcahyo Jungkung, memaparkan peran Nadiem dalam proyek tersebut. Ia disebut beberapa kali bertemu dengan Google Indonesia dan mendorong penggunaan Chrome OS sebagai sistem operasi utama dalam pengadaan laptop. Pada 6 Mei 2019, Nadiem menggelar rapat tertutup via Zoom dengan pejabat internal Kemendikbudristek. Dalam rapat itu, ia menginstruksikan agar proyek TIK menggunakan sistem operasi Chrome OS, meski saat itu pengadaan belum berjalan.
Dalam kasus ini, Kejagung juga menjerat empat tersangka lain: mantan Staf Khusus Mendikbudristek Jurist Tan, eks konsultan teknologi Ibrahim Arief, mantan Dirjen PAUD-Dikdasmen Mulyatsyah, dan mantan Direktur Sekolah Dasar Sri Wahyuningsih. Mereka diduga berperan menyusun petunjuk pelaksanaan (juklak) yang mengarahkan ke produk tertentu, yakni Chromebook.
Proyek pengadaan laptop ini berlangsung pada 2020–2022 dengan nilai mencapai Rp 9,3 triliun. Laptop rencananya dibagikan untuk PAUD, SD, SMP, hingga SMA, termasuk di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Namun hasil kajian awal Kemendikbudristek menyebut perangkat berbasis Chrome OS memiliki sejumlah kelemahan, sehingga dinilai kurang efektif diterapkan di Indonesia.
“Ini menjadi bukti bahwa program digitalisasi pendidikan yang seharusnya berpihak pada anak-anak justru diperalat untuk kepentingan segelintir orang. Penegakan hukum harus berjalan sampai tuntas,” kata pengamat hukum pidana Universitas Indonesia, Dr. Syaiful Anwar, menutup keterangannya.