
Sulawesi 8/11/2025, WartaGlobal. Id
Lima tahun lalu, di sebuah sekolah negeri kecil di Luwu Utara, 10 guru honorer datang mengadu pada kepala sekolah mereka.
Wajah-wajah lelah itu bercerita: “Kami sudah 10 bulan tak menerima gaji, Pak…”
Bukan karena mereka malas. Bukan karena mereka tidak mengajar.
Tapi karena satu hal sederhana — nama mereka belum terdaftar di dapodik.
Padahal, hanya guru yang terdaftar di dapodik yang berhak menerima gaji dari dana BOS.
Dan di sinilah, nurani bicara lebih keras daripada aturan.
Sang kepala sekolah, dengan hati yang tak tega melihat perjuangan rekan-rekannya, mengundang komite sekolah dan orang tua murid.
Dari musyawarah itu lahirlah kesepakatan sederhana:
setiap orang tua siswa iuran suka rela Rp20.000 untuk membantu guru-guru yang belum bergaji.
Tak wajib. Tak dipaksa.
Bahkan bagi yang tidak mampu — tak perlu ikut sama sekali.
Semuanya dilakukan dengan niat baik, transparan, dan atas rasa kemanusiaan.
Tapi ternyata, niat baik itu berubah jadi petaka.
Sebuah LSM melaporkan ke polisi.
Empat guru diperiksa. Dua ditetapkan sebagai tersangka.
Namun jaksa sempat menolak berkas itu karena tidak ada unsur pidana.
Sayangnya, kasus terus digulirkan, sampai akhirnya dibawa ke pengadilan Tipikor Makassar.
Dan hasilnya?
Kedua guru dinyatakan tidak bersalah.
Pengadilan Tipikor memulihkan nama baik mereka.
Tapi perjalanan belum selesai.
Jaksa mengajukan kasasi.
Dan entah bagaimana, di tingkat Mahkamah Agung, nasib berkata lain:
kedua guru itu dinyatakan bersalah — dan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Satu tahun.
Bukan karena korupsi.
Bukan karena memperkaya diri.
Tapi karena 20 ribu rupiah urunan keikhlasan.
Usai menjalani hukuman, keduanya berharap bisa kembali mengajar, mencerdaskan anak-anak bangsa seperti dulu.
Namun surat keputusan datang dari pemerintah provinsi:
PTDH — Pemberhentian Dengan Tidak Hormat.
Dan hari itu, hati ribuan guru di Luwu Utara runtuh.
Mereka turun ke jalan.
Mereka berdiri di depan kantor bupati dan DPRD, menolak keputusan yang mereka anggap tidak manusiawi.
Mereka tahu — kedua guru itu bukan kriminal.
Mereka hanya manusia berhati besar yang menolong sesama.
Di negeri ini, seringkali niat baik kalah oleh birokrasi.
Ketika aturan kehilangan nurani, keadilan pun kehilangan wajah manusianya.
Bagaimana mungkin guru yang puluhan tahun mengabdi, mendidik anak bangsa,
dihukum hanya karena berbuat baik?
Bagaimana bisa negara menutup mata terhadap guru-guru yang tak digaji selama 10 bulan,
lalu menghukum mereka yang mencoba membantu?
Hei, kalian yang duduk di kursi empuk, bergaji puluhan juta,
pernahkah kalian tahu rasanya hidup dengan gaji 400 ribu sebulan?
Pernahkah kalian lihat bagaimana seorang guru honorer menunggu gaji yang tak kunjung turun,
tapi tetap datang ke kelas setiap pagi dengan senyum yang sama?
Guru tidak butuh belas kasihan.
Mereka hanya butuh dihormati, dihargai, dan diperlakukan manusiawi.
Drs. Rasnal, M.Pd dan Drs. Abd. Muis, dua guru honorer di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dihukum 1 tahun penjara karena mengumpulkan uang iuran sukarela Rp20.000 dari orang tua siswa untuk membantu guru-guru yang belum menerima gaji selama 10 bulan. Mereka dilaporkan ke polisi oleh sebuah LSM dan diadili di Pengadilan Tipikor Makassar.
Meskipun awalnya dinyatakan tidak bersalah, jaksa mengajukan kasasi dan Mahkamah Agung menyatakan mereka bersalah. Setelah menjalani hukuman, keduanya diberhentikan dengan tidak hormat oleh pemerintah provinsi. Keputusan ini memicu protes dari ribuan guru di Luwu Utara yang menuntut keadilan dan penghormatan bagi guru-guru yang telah berjuang mencerdaskan anak bangsa.
Dua nama yang mungkin kecil di mata birokrasi,
tapi besar di hati murid-murid yang mereka ajar dengan cinta.