
Putusan ultra petita dalam hukum acara pidana memicu perdebatan antara keadilan substantif dan kepastian hukum. Apakah hakim boleh melampaui dakwaan demi keadilan?
Jakarta 14/11/2025, WartaGlobal. Id
Putusan ultra petita dalam hukum acara pidana adalah fenomena di mana hakim menjatuhkan putusan yang melampaui apa yang didakwakan atau dituntut oleh penuntut umum. Ini berarti hakim memutus perkara berdasarkan pasal atau pertimbangan yang tidak termuat dalam surat dakwaan.
Asas Legalitas sebagai Batas Kekuasaan Hakim
Asas legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan". Asas ini diterjemahkan ke dalam sejumlah ketentuan KUHAP, di antaranya Pasal 143 ayat (2) yang mengatur kejelasan surat dakwaan, Pasal 182 ayat (4) yang menegaskan bahwa hakim hanya boleh memutus berdasarkan dakwaan dan pembuktian di persidangan, serta Pasal 193 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pidana hanya dapat dijatuhkan jika kesalahan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan
Kasus dan Contoh Nyata
Salah satu contoh menonjol adalah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor 17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST. Dalam perkara tersebut, hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa dengan menggunakan pasal yang tidak termuat dalam dakwaan penuntut umum. Majelis hakim berpendapat berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, perbuatan terdakwa terbukti secara sah, hanya saja pasal yang digunakan jaksa keliru ².
Dilema Hakim di Tengah Kekosongan Norma
Masalah utama dari fenomena ultra petita adalah kekosongan pengaturan dalam KUHAP. Tidak ada pasal yang secara eksplisit melarang atau memperbolehkannya. Akibatnya, setiap hakim memiliki ruang interpretasi sendiri, yang kadang menimbulkan inkonsistensi dan ketidakpastian hukum ³.
Menegakkan Keadilan dengan Bijak
Hakim di Indonesia sebenarnya tidak dilarang untuk menafsirkan hukum, tetapi kebebasan itu harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, hakim memang diberi ruang untuk menafsirkan hukum secara progresif, tetapi tetap dalam batas-batas konstitusiohuku