![]() |
| Kekerasan dari aparat semakin menjadi setelah beberapa pengunjuk rasa berupaya menembus area parlemen dengan menaiki pagar bangunan tersebut. (PRABIN RANABHAT/AFP) |
Manca Negara, WartaGlobal.Id – Ungkapan “Habis Nepal Terbitlah Perancis” belakangan ramai di media sosial Indonesia. Kalimat itu jelas terinspirasi dari karya legendaris R.A. Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang, tetapi dipelintir menjadi satire untuk menggambarkan rentetan kerusuhan besar di Nepal dan Perancis.
Sekilas, analogi tersebut tampak serasi. Dua negara diguncang gelombang protes rakyat, penguasa dituding gagal membaca suara bawah. Namun, jika disorot lebih dekat, wajah kedua perlawanan ini justru berbeda secara fundamental.
Di Nepal, generasi muda marah akibat larangan penggunaan media sosial. Kebijakan itu dipandang membungkam kebebasan berekspresi. Ditambah praktik korupsi dan nepotisme yang menggurita, rasa percaya pada pemerintah runtuh. Generasi muda, terutama Gen Z, turun ke jalan menuntut reformasi politik menyeluruh. Tindakan represif aparat malah memperluas eskalasi, menjadikan jalanan Kathmandu medan bentrokan panjang.
Berbeda dengan Nepal, Perancis diguncang protes nasional “Bloquons tout” pada 10 September 2025. Rakyat menolak rencana anggaran 2026 yang dinilai menambah beban hidup. Pemerintah mengusulkan pemangkasan 44 miliar euro, pembekuan kenaikan pensiun, penghapusan dua hari libur nasional, hingga pemotongan dana kesehatan. Gelombang aksi akhirnya menjatuhkan Perdana Menteri François Bayrou, sementara Presiden Emmanuel Macron mendapat tuntutan pengunduran diri yang menggema keras di jalanan.
![]() |
| Kebakaran terjadi saat para demonstran menggelar aksi protes untuk mengecam tindakan keras polisi terhadap pedemo di Kathmandu, Senin (9/9/2025), sehari setelah unjuk rasa menentang larangan media sosial dan korupsi yang dilakukan pemerintah. Demo Nepal yang berawal dari larangan media sosial berakhir ricuh, meningkatkan korban jiwa hingga 30 orang, lebih dari 1.000 luka, hingga PM Nepal Oli mundur.(AFP/PRABIN RANABHAT |
Jika Nepal mencerminkan keruntuhan legitimasi akibat represi dan korupsi, maka Perancis lebih pada perlawanan terhadap kebijakan ekonomi yang dianggap tidak adil. Meski sama-sama digerakkan oleh keresahan rakyat, rohnya berbeda: satu menuntut revolusi politik, yang lain mengingatkan bahaya abai pada sensitivitas sosial-ekonomi.
Pelajaran dari kedua negara jelas: legitimasi politik tidak hanya ditentukan oleh prosedur formal seperti pemilu, tetapi juga oleh rasa keadilan sosial yang dirasakan rakyat. Sekali keadilan itu hilang, jalan raya bisa berubah jadi panggung perlawanan.
Indonesia tak kebal dari dinamika ini. Menutup ruang kebebasan berekspresi, membiarkan korupsi dan nepotisme, serta mengabaikan keadilan sosial-ekonomi bisa menjadi bara dalam sekam. Demokrasi elektoral tak cukup jika rakyat merasa tertindas oleh kebijakan negara.
“Ungkapan ‘Habis Nepal Terbitlah Perancis’ mungkin berlebihan, tetapi ia membawa pesan penting: jangan pernah main-main dengan rasa keadilan rakyat. Begitu rakyat merasa ditinggalkan, tak ada pagar kekuasaan yang benar-benar aman,” ujar seorang pengamat politik.
Redaksi

