Dampak Nyata Krisis Sampah di Perkotaan: Mendesak Perbaikan Sistem Pengelolaan Sampah - Warta Global Indonesia

Mobile Menu

Top Ads

Dirgahayu RI
🎉 Dirgahayu Republik Indonesia ke-80 — 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2025 🎉

More News

logoblog

Dampak Nyata Krisis Sampah di Perkotaan: Mendesak Perbaikan Sistem Pengelolaan Sampah

Friday, November 14, 2025

Dampak Nyata Krisis Sampah di Perkotaan

Jakarta 14/11/2025, WartaGlobal. Id
Indonesia sedang dalam krisis sampah. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2024 menunjukan dari 328 kabupaten/kota yang melaporkan data, timbulan sampah nasional sudah mencapai 34,79 juta ton/tahun. Dari jumlah tersebut, 11,55 juta ton (33,22 %) yang terkelola dengan baik, sedangkan 23,23 juta ton (66,78 %) belum terkelola dengan memadai. Sisanya berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), dan pembakaran terutama plastik yang setiap tahunnya mencapai 6,8 juta ton.

Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA) Muhammad Irvan Mahmud Asia menilai pertambahan penduduk dan dunia usaha berimplikasi pada peningkatan jumlah produksi sampah, baik sampah rumah tangga, restoran, pusat perbelanjaan dan hotel, hingga industri. Disisi lain, komitmen pemerintah dan masyarakat pada isu ini sangat lemah, terbukti dengan sistem pengelolaan sampah masih mengandalkan sistem konvensional dalam bentuk sistem pembuangan terbuka (open dumping) serta kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarang tempat.

Praktik open dumping menurut Irvan telah menempatkan sampah sebagai beban, bukan sumber daya. Akibatnya, tempat pembuangan akhir (TPA) di banyak daerah melebihi kapasitas, bahkan sebagian berstatus darurat. Pemerintah daerah juga belum memiliki strategi pengelolaan sampah yang terintegrasi, serta dukungan anggaran sangat terbatas.

Atas hal ini, Irvan menyebut tata kelola persampahan di Indonesia sangat buruk dan dampaknya sudah sampai pada tahap krisis. Hal ini mengancam keberlanjutan lingkungan terutama tanah dan air bersih, hingga kualitas sanitasi permukiman yang menurun, serta emisi metana yang merupakan gas rumah kaca yang kuat. Lebih dari itu, pola ruang terbebani dan ini jelas sangat merugikan baik secara ekonomi maupun sosial.

“Jika tidak ada perbaikan serius akan menjadi bom waktu sebab penimbunan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sudah melebihi kapasitas daya tampung (overload); gas metana makin besar dan ini penyumbang perubahan iklim terbesar kedua (setelah karbon dioksida) sampai pada terjadinya kebakaran di TPA (ledakan gas metana). Ini diperkuat dengan data dari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Dimana per Januari 2024 terjadi kebakaran di 38 TPA,” tegasnya.

Lebih jauh, Irvan menyebut krisis sampah di kota-kota besar bisa menimbulkan penyakit seperti diare, tifus, malaria hingga penyakit kulit.

Ia juga mengingatkan sampah yang tidak tertangani dengan baik akan mengakibatkan banjir. Secara estetika, sampah yang berserakan di berbagai sudut kota sangat mengganggu.

Semua masalah ini, kedepannya akan semakin membebani kota, apalagi pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang kian cepat, volume dan keragaman sampah pasti bertambah, sementara sistem dari hulu ke hilir sangat rapuh. “Akar dari kerapuhan ini karena mindset kita belum melihat ini sebagai prioritas. Membentang dari perilaku pengurangan, pemilahan, pengumpulan, hingga pemrosesan akhir. Intinya setiap mata rantai menunjukkan kelemahan struktural,” ungkap Irvan.

Jika wajah kota masih dipenuhi tumpukan sampah, maka sesungguhnya yang kotor bukan hanya lingkungan, melainkan cara berpikir dan tata kelola yang membiarkannya. Selama itu belum berubah, selama itu pula wajah kota-kota di Indoensia akan memantulkan rupa yang buruk.