Denpasar, Bali – 23 Desember 2025 , WartaGlobal. Id
Aceh bukan sekadar provinsi di ujung Sumatra, melainkan entitas berdaulat yang telah berdiri tegak sebelum Republik Indonesia diproklamasikan pada 1945. Kesultanan Aceh Darussalam, yang mencapai puncak kejayaan pada abad ke-16 hingga 17 di bawah Sultan Iskandar Muda, memiliki wilayah luas, hukum syariah, mata uang sendiri, angkatan bersenjata, dan hubungan diplomatik dengan kekaisaran Ottoman, Arab, serta Eropa.
Saat Nusantara masih tercerai-berai di bawah kolonialisme, Aceh berbicara dengan dunia atas nama martabatnya sendiri.Perang Aceh (1873–1914) menjadi bukti ketangguhan itu. Konflik terpanjang dan termahal bagi Belanda ini bukanlah kekalahan mutlak Aceh, tapi perlawanan rakyat yang tak pernah padam.
"Kota bisa diduduki, tapi jiwa rakyatnya tak ditaklukkan," catat arsip kolonial Belanda, yang mengakui Aceh hanya bisa dilemahkan lewat tipu daya, bukan senjata. Saat proklamasi kemerdekaan, Aceh menjadi wilayah pertama yang bergabung penuh dengan Republik, bahkan menyumbang emas untuk membeli pesawat tempur demi menghubungkan Indonesia dengan dunia.
Namun, luka sejarah muncul ketika janji otonomi khusus, penghormatan agama, adat, dan martabat Aceh diingkari. Konflik GAM (Gerakan Aceh Merdeka) pada 1976–2005 lahir dari kekecewaan itu, bukan kebencian buta terhadap Indonesia. MoU Helsinki 2005 akhirnya mengakui otonomi luas, termasuk penerapan syariah, tapi diskusi tentang identitas Aceh tetap hidup.
"Aceh tidak lahir dari republik; republik lahir dengan bantuan Aceh," tulis seorang pengamat sejarah yang enggan disebut namanya, merujuk kesadaran kolektif Aceh yang tak retak.Kritik lebih tajam datang terhadap narasi "NKRI harga mati" dan pandangan Indonesia sebagai "bangsa tunggal". Secara akademis, narasi ini sering bermasalah karena:
Penyamaan negara dan bangsa: Indonesia sebagai negara lahir dari proses politik 1945, tapi bangsa-bangsa lokal seperti Aceh, Papua, Minahasa sudah eksis sebelumnya. Identitas daerah pun dilabeli "separatisme".Persatuan paksa: Slogan persatuan jadi alat pembungkaman, di mana kritik disebut makar dan luka sejarah disuruh "move on".
Sejarah Jawa-sentris: Buku pelajaran nasional memuliakan pusat, menyebut perlawanan daerah sebagai "pemberontakan" dan kekerasan negara sebagai "operasi".Nasionalisme simbolik: Kuat di upacara dan bendera, lemah di keadilan sosial dan pemerataan sumber daya.
Warisan kolonial internal: Sentralisasi kekuasaan mirip Belanda, dengan eksploitasi daerah untuk Jakarta.Pengamat politik menambahkan, Pembukaan UUD 1945 menyatakan "kemerdekaan hak segala bangsa", mengingatkan bahwa peta dunia bisa berubah sesuai zaman. "Bangsa sehat menghormati martabat setiap fragmen, bukan memaksa kesetiaan," katanya.
Hingga kini, rekonsiliasi sejati butuh pengakuan luka kolektif, bukan narasi yang menekan perbedaan.Diskusi ini ramai di media sosial menjelang akhir 2025, mengajak introspeksi: apakah Indonesia siap hadapi sejarahnya tanpa ketakutan?