Jakarta, 29/12/2025, WartaGlobak. Id
Aksi pamer uang 6,6 triliun di depan Kejaksaan Agung (Kejagung) oleh Presiden Prabowo Subianto dikritik sebagai sandiwara dan tidak substantif. Uang tersebut berasal dari dua sumber: Rp 4,2 triliun dari sitaan kerugian negara akibat korupsi impor gula dan fasilitas CPO, serta Rp 2,3 triliun dari denda administratif 20 perusahaan sawit dan 1 perusahaan tambang pelanggar lingkungan hidup.
Kritik ini muncul karena Rp 2,3 triliun yang terkait dengan bencana Sumatera dianggap tidak sebanding dengan kerugian dan kerusakan yang terjadi, seperti 1.200 Km jalan nasional rusak, 31 jembatan nasional rusak, dan 174.326 rumah warga rusak. Selain itu, tidak ada penetapan tersangka berkostum orange yang ikut dipamerkan.
Konflik Kepentingan dan Perlindungan Korporasi
Kritik juga menyoroti konflik kepentingan pemerintah yang melindungi korporasi pelaku bencana. Uang pengganti kerugian Rp 2,3 triliun dianggap tidak sebanding dengan kerugian dan kerusakan, sehingga beban akan ditanggung oleh APBN, APBD, dan donasi rakyat Indonesia.
Pemerintah juga menolak bantuan internasional dengan alasan Indonesia mampu, padahal APBN hingga Oktober defisit Rp 479,7 triliun. Kritik ini mempertanyakan apakah pemerintah melindungi korporasi untuk menutupi kejahatan dan bisnis ilegal.
Pemulihan dan Rekonstruksi Terhambat
Penanganan bencana masih di level tanggap darurat, dan proses pemulihan dan rekonstruksi dianggap jauh dari harapan. Gubernur Aceh telah memperpanjang tanggap darurat 14 hari hingga 8 Januari, menunjukkan minimnya bantuan dan aksi pemerintah pusat .