Jakarta, 28 Desember 2025 , WartaGlobal. Id
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menampar wajah pemerintah dengan data keras: tiga sektor ekstraktif utama—tambang, minyak, dan gas—sudah merenggut 2,4 juta hektare hutan dan daerah aliran sungai (DAS) di Sumatera sejak 2014. Ini baru puncak gunung es, karena ekspansi perkebunan kelapa sawit masif, industri kehutanan (HPH dan HTI), serta tambang ilegal yang tak tercatat dalam database resmi masih dibiarkan merajalela.Koordinator Nasional JATAM, Alfarhat, tak hancurkan ilusi data resmi pemerintah.
"Tekanan nyata terhadap hutan, DAS, dan ruang hidup masyarakat jauh lebih besar daripada yang tergambar di atas kertas," tegasnya dalam keterangan resmi Jumat (27/12). Data internal JATAM mengungkap bahwa izin usaha pertambangan (IUP) saja telah hapus 1,2 juta hektare hutan primer, sementara pipa minyak dan gas menggerus 800 ribu hektare DAS krusial
.Lebih brutal lagi, pemerintah abai terhadap "monster tak terlihat": sawit skala raksasa yang mengkepung lereng bukit, HPH-HTI yang babat hutan lindung, dan tambang liar yang bocor ke sungai hingga picu longsor.
Hasilnya? Banjir bandang Sumatera akhir-akhir ini bukan musibah alam, tapi bom waktu buatan negara yang haus royalti.
JATAM mendesak audit menyeluruh dan moratorium total terhadap semua industri ekstraktif di Sumatera. Alfarhat memperingatkan: tanpa pencabutan izin rusak dan stop ekspansi di zona bencana, negara justru jadi kaki tangan siklus kematian.
"Selama negara tutup mata pada fakta ini, dan jawab bencana hanya dengan karung bantuan plus laporan serap anggaran, maka negara sedang melanggengkan pengorbanan rakyat," tandasnya.Kritik ini datang di tengah musim hujan ekstrem, saat puluhan ribu warga Sumatera nyaris tenggelam akibat lumpur tambang dan air sawit.
Pemerintah pusat dan daerah kini di ujung tanduk: reformasi atau terus jadi algojo lingkungan?