Rakyat Indonesia Merasa 'Yatim Piatu' dari Sabang hingga Merauke: Suara Kekecewaan di Tengah Krisis Kepemimpinan - Warta Global Indonesia

Mobile Menu

Top Ads

Dirgahayu RI
🎉Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas musibah banjir dan longsor di Sumatra. Semoga keluarga korban diberi ketabahan dan kekuatan. 🎉

More News

logoblog

Rakyat Indonesia Merasa 'Yatim Piatu' dari Sabang hingga Merauke: Suara Kekecewaan di Tengah Krisis Kepemimpinan

Thursday, December 25, 2025

Denpasar, Bali – 25 Desember 2025

(Warta Global.id) – Ungkapan "rakyat Indonesia merasa yatim piatu dari Sabang sampai Merauke" kian bergema di berbagai daerah, mencerminkan rasa frustrasi mendalam masyarakat terhadap pemerintahan pusat yang dinilai acuh tak acuh terhadap aspirasi rakyat. Frasa ini, yang viral di media sosial sejak akhir tahun lalu, menjadi simbol kekecewaan kolektif akibat lambatnya respons terhadap isu ekonomi, korupsi, dan ketidakadilan sosial yang melanda negeri dari ujung barat hingga timur.Para aktivis dan warga biasa mulai menggunakan ungkapan tersebut untuk menyuarakan ketidakpuasan.
 Di Aceh (Sabang), nelayan mengeluhkan penurunan hasil tangkapan akibat overfishing dan minimnya bantuan pemerintah. 

Ditengah Banjir Sumatra yang tidak jelas Statusnya, Masih banyak daerah terisolasi yang butuh bantuan logistik dan relawan guna berbenah. 
Logistik menumpuk tapi tidak ada yang mengantar karena terbatasi orang yang bergerak menyalurkan
Serta obat obatan kesehatan dan dapur umum. 

Sementara di Papua (Merauke), petani adat protes konflik lahan dengan perusahaan tambang yang merampas hak ulayat mereka. "Kami seperti anak yatim piatu, ditinggalkan oleh bapaknya sendiri," kata Hasanuddin, aktivis lingkungan di Aceh, saat dihubungi tim redaksi.Dampak Ekonomi dan Sosial yang MeluasData Badan Pusat Statistik (BPS) per November 2025 menunjukkan inflasi nasional mencapai 5,2 persen, dengan kemiskinan di wilayah timur Indonesia naik menjadi 12,8 persen. Di Bali, misalnya, sektor pariwisata terpukul pasca-bencana erupsi Gunung Agung tahun lalu, membuat ribuan pekerja informal kehilangan mata pencaharian. 

"Pemerintah janji bantuan, tapi uangnya hilang entah ke mana. Kami merasa ditinggal sendirian," ujar Ni Wayan, pedagang asongan di Denpasar.Fenomena ini juga terlihat di Jawa Tengah dan Sulawesi, di mana demo buruh menuntut upah layak sering kali berujung bentrokan. 

Analis politik dari Universitas Indonesia, Dr. Budi Santoso, menilai ungkapan "yatim piatu" ini lahir dari ketidakpercayaan terhadap elite Jakarta yang terkesan elitis. "Rakyat merasa pusat hanya peduli proyek prestise, bukan nasib rakyat kecil," katanya.

Respons Pemerintah dan Harapan Perubahan Kementerian Dalam Negeri menyatakan sedang menyusun program "Pemerataan Pembangunan Nusantara" untuk mengatasi disparitas regional, termasuk alokasi anggaran Rp500 triliun untuk 2026. Namun, skeptisisme masih tinggi.

 Ketua DPR RI, Puan Maharani, menjanjikan dialog nasional awal 2026, meski sejumlah LSM mendesak pembentukan forum rakyat independen.Para jurnalis dan aktivis sosial media memantau isu ini dengan ketat, menyerukan transparansi. 

"Dari Sabang sampai Merauke, suara rakyat harus didengar, bukan diabaikan," tegas Koordinator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bali, Made Sunarta.Tim Warta Global.id terus memantau perkembangan. Kontribusi pembaca untuk liputan mendalam sangat dihargai.