Jelang HUT RI ke-80, Aktivis Muda Bongkar Dugaan Suap 95 Senator DPD RI: “Demokrasi Sudah Dihianati Elit Politik. - Warta Global Indonesia

Mobile Menu

Top Ads

Dirgahayu RI
🎉 Dirgahayu Republik Indonesia ke-80 — 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2025 🎉

More News

logoblog

Jelang HUT RI ke-80, Aktivis Muda Bongkar Dugaan Suap 95 Senator DPD RI: “Demokrasi Sudah Dihianati Elit Politik.

Thursday, October 9, 2025

Jakarta, WartaGlobal.Id – Sehari sebelum bangsa ini merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-80, publik dikejutkan oleh pengakuan mengejutkan Muhammad Fithrat Irfan, seorang aktivis muda nasional. Dalam pernyataan terbukanya, Irfan menuding adanya praktik suap senyap yang menyeret 95 senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam proses pemilihan Wakil Ketua MPR unsur DPD.

Irfan menyebut keterlibatan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, hingga sejumlah pejabat partai besar. Ia menggambarkan skandal ini sebagai potret telanjang dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menghianati amanat kemerdekaan bangsa.

“Saya harus bongkar semua kebusukan partai penguasa! Demokrasi yang diperjuangkan para pejuang 1945 dirusak segelintir elit. Saya bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa dan siap mempertanggungjawabkan di dunia dan akhirat,” tegas Irfan, Minggu (16/8/2025).

Transaksi Gelap di Toilet Parlemen

Menurut Irfan, proses pemilihan Wakil Ketua MPR unsur DPD dikendalikan oleh Dasco dan Menkumham Supratman demi meloloskan putra Supratman, Abcandra Muhammad Akbar Supratman. Ia mengungkapkan adanya aliran dana besar berupa dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat yang didistribusikan di Gedung Nusantara V, bahkan sebagian dilakukan di area toilet.

“Semua senator mau dijadikan ‘under Dasco’. Saya lihat sendiri Abcandra menelpon Dasco lewat video call saat transaksi berlangsung,” ujar Irfan.

Skandal Lebih Besar dari Kasus Hasto

Irfan menyebut skandal ini lebih besar dari kasus Hasto Kristiyanto maupun Tom Lembong. Ia menilai hukum saat ini telah menjadi alat untuk membungkam kebenaran dan melindungi kepentingan elit tertentu. “Saya juga merasakan langsung upaya kriminalisasi terhadap diri saya,” katanya.

Persaingan antara La Nyalla Mattalitti dan Sultan Bachtiar Najamudin dalam perebutan kursi Ketua DPD RI juga disinggung Irfan sebagai bagian dari permainan kekuasaan yang sarat intervensi politik.

Upaya Membungkam Aktivis

Irfan mengaku menerima ancaman dan upaya pembungkaman dari berbagai pihak, termasuk oknum kementerian, aparat militer, dan perwira Polri. Namun ia menantang balik, “Saya tantang Dasco dan Supratman bersumpah di atas Al-Qur’an. Kalau saya dikriminalisasi, saya siap berjuang demi kebenaran.”

Amanat Presiden yang Dikhianati

Pengakuan Irfan kontras dengan amanat Presiden Prabowo Subianto yang pada 2 Juni 2025 menegaskan, “Setiap rupiah dari keringat rakyat harus kembali untuk rakyat. Siapa pun pejabat yang masih berani bermain dengan anggaran, sama saja mengkhianati bangsa dan Pancasila.”

Dalam pidato kenegaraan Agustus 2025, Presiden kembali memperingatkan agar elit politik tidak mengkhianati amanat rakyat. Namun dugaan suap terhadap 95 senator justru menunjukkan jurang antara idealisme dan realitas kekuasaan.

Landasan Hukum

Dugaan praktik suap ini jelas melanggar:

  • UUD 1945 Pasal 1 ayat (3): Indonesia adalah negara hukum.

  • Pasal 22E UUD 1945: Pemilu harus jujur dan adil.

  • UU No. 17 Tahun 2014 (MD3): Melarang segala bentuk suap dalam pemilihan pimpinan lembaga legislatif.

  • UU Tipikor (UU 31/1999 jo. UU 20/2001):

    • Pasal 5 & 6: Pemberian suap dapat dipidana hingga 5 tahun.

    • Pasal 12B: Gratifikasi yang tidak dilaporkan dianggap suap dengan ancaman hingga 20 tahun.

Dengan dasar ini, kasus tersebut bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan tindak pidana korupsi serius yang mengancam integritas demokrasi Indonesia.

Desakan dan Seruan

Irfan menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menyelidiki kasus ini secara resmi, memanggil Dasco, Supratman, serta pihak-pihak yang disebut terlibat. Ia juga meminta Kejaksaan Agung bersinergi dengan KPK untuk menelusuri aliran dana, sementara MKD DPR RI dan BK DPD RI memeriksa integritas para senator terkait.

Gerakan masyarakat sipil, mahasiswa, dan pers diminta mengawal kasus ini agar tidak tenggelam oleh kekuatan politik.

Menutup pernyataannya, Irfan menyerukan, “Tolong buka mata lebar-lebar. Jangan jadi aktivis bermental tempe. Demokrasi akan mati kalau kalian bungkam. Pers pun jangan kalah oleh uang dan jabatan.”

Pernyataan Irfan menjadi alarm keras di tengah perayaan kemerdekaan. Jika tuduhan ini benar, maka bangsa sedang dihadapkan pada pengkhianatan terbesar terhadap amanat 1945  bahwa kekuasaan sejatinya milik rakyat, bukan alat dagang para elit politik.

(Muhammad Fithrat Irfan, Aktivis Nasional)